Kamis, 05 Juli 2012

PITA 7

heart beats fast
color and promises 
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow

tak henti - hentinya aku mendengar lagu ini, dalam lamunanku di balik kaca jendela hotel di lantai 15. Terbayang seorang yang selalu aku sayang dan cinta, walau kadar cinta ku tak sebanyak sekian tahun yang lalu, tetapi dia tetap menjadi prioritasku. Ku acuhkan beberapa sms dan bbm.
Malam ini Jakarta mendung, lalu lalang tetap padat. Aku melihat dari atas kamar nuansa kolam renang yang tenang dan lampu yang terang, membuat hasratku tergugah untuk bermain di dalamnya. Yah, benar saja mendung Jakarta hari ini meneteskan airnya, dalam rintikan hujan aku berenang menyusuri kolam renang yang hangat ini. Sekali lagi aku mengingatnya. Kesalahan menyelimuti hati ku, aku menjadi tersangka berkurangnya kadar cintanya untuk ku. Kini dia mengalami apa yang aku rasa, dia menuduhkan tuduhan yang membuat hakim geram, aku terpaku semalam, aku bukan tidak berusaha membela. Mati - matian aku mencari barang bukti untuk semua tuduhannya, mati - matian aku mengumpulkan kenyataan, karena yang di tuduhkan membayang dan hiperbola. Ku tertuduh yang negatif, itu bukan salahku. Berkali aku melihat jam ditangan, waktu hari ini seperti berjalan lambat, selalu maju dan tak akan pernah bisa mundur. Ingin ku tunjukkan kedapa siapa saja yang ada bahwa hati ku kecewa. Terjebak dalam kubangan cinta yang aku tak pernah tau endingnya seperti apa. 


I'm afraid to love someone, because when i do, the pain would come
-sweet disposition by defi puspita-

esoknya

waktu menunjukan pukul 5 pagi, tapi Jakarta masih gelap, aku melihat pendaran bayangku dari kaca jendela hotel, aku melihat inilah aku, Pita. Purpose ku tetap satu, mempertahankan apa yang harus di pertahankan, lalu melanjutkan apa yang harus dilanjutkan. Ku raih bb di sebelah tempat tidur, dengan gegap gembita jemari ku melunak untuk menelphone tunanganku, yes my fiance, sudah hampir 3 tahun aku mengegam cincin ini, tahun pertama ku bahagia dan menggebu - gebu tentang cinta, tahun kedua kumerasa terkhianati dan bodoh dan tahun ketiga dia menuduhku, aku bagai terdakwa tak berpengacara. Dan tahun ke tiga ini adalah tahun terberat, tak melunak sedikitpun ego kita. Saling menyalahkan seolah olah kitalah paling benar. Kesalahan terucap bagai panah yang menghujam, aku tertancap berkali kali, lalu aku tersimpuh dengan berlumuran darah tapi tak mati, hanya sekarat. Aku mencoba berdiri walau tertatih, lalu aku merangkak untuk tetap mencari bukti tentang kebenaran, bukti tentang tuduhan yang membuat posisiku sulit dan mendapatkan hukuman mati. Terdengar nada tunggu yang tak henti hentinya berbunyi, sepertinya tidak ingin untuk diangkat telphone dari ku. Ku letakkan kembali bb dengan sedikit tekanan yang mengakibatkan tercecer berantakan, kubuka jendela kamar masih petang tapi tampak indah karena lampu. Aku berjalan keluar, menaiki lift ke lantai paling atas, ku menarik nafas dalam - dalam lalu ku keluarkan dengan sedikit tekanan. Dan aku menemukan jawaban dari tuduhan yang di utarakannya. Dia adalah aku, aku merasakan apa yang dia rasakan tahun lalu, bahkan tahun - tahun sebelum kita memutuskan untuk bertunangan. Tidak perlu mencari kebenaran karena ini adalah karma. Tapi tuduhkan ku terbukti, dan dia tersangka dengan bukti kuat tapi tidak dengan hukuman mati, karena aku memberinya kesempatan. Kesempatan keduaku untuknya malah menjadikanku menjadi seorang tersangka dengan hukuman mati, chuckled. 

Everything happen for a reason, but i don't found a reason to always stand alone beside him.
-standing alone by defi puspita-